Banyak
pihak yang "ringan kata" menyebut istilah "Sastra Pesantren" tanpa
menjelaskannya - seperti menyebut istilah baku. Bahkan ada yang cerewet
mengabarkan adanya genre sastra pesantren, kanon sastra pesantren,
ledakan sastra pesantren, maupun industri sastra pesantren seakan-akan
sastra pesantren sudah menjadi tradisi yang kukuh dan dahsyat kiprahnya.
Padahal istilah sastra pesantren pun belum pernah jelas pengertiannya
secara kesusastraan, tapi kadung dirayakan sebagai istilah eksotis yang
seolah sudah beres secara terminologis.
Munculnya istilah sastra
pesantren masih sebatas mempropagandakan "identitas kesastrawanan"
mereka yang dianggap sebagai pengarang sastra pesantren. Propaganda itu
tak menyuguhkan hasil kajian yang becus membuktikan adanya unsur
"kualitas sastra" ataupun adanya kecenderungan "bentuk sastra" dari apa
yang disebut sebagai sastra pesantren itu. Sehingga, istilah sastra
pesantren menjadi klaim yang mirip gincu merah mencolok mata yang
dioleskan berlebihan dan semena-mena ke sejumlah karya sastra.
Propaganda
itu upaya "politik identitas" untuk mengobarkan adanya genre atau kanon
sastra pesantren dengan menihilkan unsur-unsur kesusastraan yang
mendasar. Apakah perbedaan sastra Indonesia pada umumnya dengan apa yang
disebut sebagai sastra pesantren selain sebatas kecenderungan perbedaan
temanya? Ingat, tema bukanlah ukuran mutu atau pembentuk genre sastra.
Pada
jamaknya, istilah sastra pesantren dipakai secara latah untuk menyebut
karya sastra bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan. Sastra
pesantren selama ini diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan
dengan nilai keislaman, karya sastra para pengarang yang punya
pengalaman kehidupan pesantren atau masih trah kiai pesantren, dan karya
sastra yang mencerminkan kehidupan santri dan pesantren. Identifikasi
itu berisi unsur-unsur non-sastra.
Kelatahan identifikasi itu
menjauhkan apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu dari
unsur-unsur kesusastraan yang sesungguhnya. Maka tak aneh bila yang
disebut sebagai sastra pesantren adalah karya pengarang berbahasa
Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan;
maupun pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan
pesantren. Penyair X dijuluki sebagai pengarang sastra pesantren karena
statusnya sebagai kiai atau anak kiai pemilik pesantren yang menulis
puisi sufistik dan juga karena pengarang Y pernah belajar di pesantren
maka novelnya yang berlatar kehidupan pesantren disebut sebagai sastra
pesantren.
Identifikasi pada apa yang disebut sebagai sastra
pesantren itu sebatas berurusan dengan aktualisasi tema atau latar
belakang pengarangnya yang berhubungan dengan keislaman, kesantrian, dan
kepesantrenan; dan bukan berdasarkan unsur-unsur atau kecenderungan
"bentuk" kesusastraan yang khas dimiliki oleh apa yang disebut sebagai
sastra pesantren itu.
Istilah sastra pesantren mengemuka dalam isu
kesusastraan mutakhir dan sekaligus terjebak ke dalam jurang kekacauan
termonologis yang bermasalah secara diskursif dan literer. Apakah
keterjebakan itu bakal membuat para propagandis dan pengarang sastra
pesantren berjibaku merumuskan dan menciptakan sastra pesantren dengan
melek unsur-unsur kesusastraan yang sesungguhnya, bukan sekadar
menekankan unsur tema atau latar belakang pengarangnya?
Ludah Surga
Ada
buku berjudul Antologi Cerpen Pesantren: Ludah Surga (2006) yang berisi
cerpen para santri muda yang bertema kehidupan santri dan pesantren.
Gagasan cerita dalam buku ini banyak yang unik, misalnya urusan mistik
atau keajaiban supranatural dan fenomena perkembangan dunia santri dan
pesantren terkini yang belum banyak diketahui umum. Sejumlah cerpen
dalam buku ini mengingatkan pada cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri dalam
buku Lukisan Kaligrafi (2003).
Struktur cerpen-cerpen dalam Ludah
Surga itu seperti kecenderungan umum struktur cerpen Indonesia, bahkan
banyak yang tertinggal jauh dari perkembangannya sastra mutakhir.
Kritikus Faruk tak keliru menyatakan sastra pesantren memberikan
"kualitas" dokumentasi dunia santri dan pesantren yang tersembunyi
(novel Mairil, misalnya), tapi belum memberikan kualitas sastra.
Karya
sastra bertema kehidupan santri dan pesantren masih cenderung
menampilkan dunia pesantren sebagai latar, tanpa deskripsi yang rinci
dan hidup, dan menjelmakan nilai keislaman secara formalistik serupa
khotbah. Selain itu, juga cenderung minim realitas kejiwaan dan teknik
berceritanya konvensionil. Akibatnya, dunia santri dan pesantren dalam
karya sastra hadir tak utuh dan tanpa gema. Karya sastra yang mengolah
dunia santri dan pesantren cenderung memukau karena urusan tabu yang
diangkatnya, misalnya seksualitas di pesantren.
Kecenderungan-kecenderungan itu merupakan masalah yang menuntut upaya
kesusastraan yang serius.
Sebenarnya modal besar para pengarang
yang punya ikatan dengan pesantren adalah kekayaaan tradisi pesantren
yang belum banyak muncul dalam realitas yang tertulis. Dengan modal itu,
para pengarang itu berpotensi sebagai "lidah" pertama yang menyuarakan
khazanah dunia santri dan pesantren. Tapi bila mengandalkan kekayaan
tradisi sebagai bahan penciptaan tanpa menyelenggarakan upaya
kesusastraan yang sesungguhnya, para pengarang itu hanya menghasilkan
risalah sosial, antropologi, atau tasawuf dunia santri dan pesantren
yang tak berkutik menghadapi risalah penelitian para sosiolog,
antropolog, dan peneliti mistik Islam yang menekuni urusan dunia yang
serupa.
Upaya kesusastraan itu bisa dipelajari dari khazanah
sastra Indonesia maupun sastra dunia yang menggumuli realitas atau tema
tertentu dengan tetap meninggikan mutu sastra. Bukan untuk meniru,
melainkan untuk mengambil atau mengembangkan metodenya maupun mencari
pijakan untuk "menemukan" ilham metode sastra yang anyar. Bukankah para
pemikir besar Muslim awal juga mengembangkan sejumlah warisan budaya
Yunani kuno?
Dengan upaya kesusastraan yang mendasar atau yang
sesungguhnya, karya sastra bertema dunia santri dan pesantren bisa tegak
berdiri penuh harga diri di mimbar besar kesusastraan. Para pengarang
yang mengolah kehidupan santri dan pesantren itu sebaiknya memikirkan
mutu sastra di kesunyian kamar kerjanya dan belajar mengucapkan selamat
tinggal pada tetek-bengek bingar propaganda yang sekadar hendak merebut
lebel sastra pesantren belaka itu.