Oleh
Taufikurrahman
Taufikurrahman
Terdengar seakan bising mengoreksi tentang
marxis dan rasis dalam sastra oleh karna itu seiring dengan dinamika
perkembangan sastra dan kemajuan hidup manusia. Maka kita semua mahfum bahwa
akan ada beberapa gejala besar yang segera menyeruak ke permukaan bumi ini.
Sastra dengan segala anak pinaknya akan mewarnai perjalanan hidup manusia selama
ada di tanah dimana mereka berpijak dan bertempat tinggal. sastra memberikan
warna tersendiri terhadap manusia bagaimana mereka harus dan seharusnya mempola
diri dengan sedemikian rupa agar tidak terjebak pada matinya pergerakan menuju
hidup dan pemikiran yang lebih baru, genial, kontekstual dan seterusnya.
Dan mau tidak mau, hal sedemikian pasti
tidak akan terelakkan. Menolak itu sama dengan mengingkari eksistensi diri
sebagai mahluk yang berkembang, evolutif, kontekstual dan dinamis.membincangkan
sastra ibarat kita harus memilah-milah segala jenis sastra. Ini perlu dilakukan
karena sastra lahir, dibesarkan, dan didewasakan di tengah kerumunan masyarakat
yang variabel, heterogen, dan plural. Yang pasti dan jelas, keragaman manusia
menyebabkan keberbedaan jenis sastra yang tidak bisa disatupadukan atau
ditunggalkan dengan sedemikian ketatnya. Masing-masing mereka memiliki ciri
khas, karakter, pola penyampaian, dan unsur-unsur yang sangat berlainan.
Bayangkan saja, ada sastra yang beralirkan
ekspresivisme yang berpandangan bahwa sastra itu merupakan pernyataan,
ekspresi, ungkapan dunia batin pangarangnya. Ini berasumsi bahwa sastra itu
adalah gerakan, dan pergerakan berimajinasi, menyintesiskan imajinasi,
pemikiran, dan perasaan pengarang (Baca hal 27). sastra jenis ini lahir ketika
sistem sosial, dan filsafat memberikan kebebasan dengan sepenuhnya kepada
manusia untuk berbuat. Otonomi individu seluas-luasnya dipersembahkan untuk
manusia guna bisa bebas berkarya dengan sekreatif mungkin (Baca hal 27-28).
Ada pula sastra berkutubkan marxisme yang
berkoar bahwa sastra itu adalah cerminan realisasi sosial yang berpihak pada
segolongan tertentu semata (kelompok pemodal). Dengan begitu, muatan sastra
marxis lalu dapat dimengerti bila dikacamatakan lewat realitas sosial yang
sedang terjadi.
Di sana itu berproses tindak
kesewenang-wenangan, ketidakadilan, penindasan ekonomi kepada kelas rendahan,
dan lain sebagainya. Ringkas kata, kaum marxis berpendapat bahwa teori apapun
yang memperlakukan sastra terisolir dan memisahkannya dari masyarakat dan
sejarah, teori tersebut akan lemah dalam menyampaikan apa yang sebenarnya
diinginkan dalam sastra(Baca hal 44).
Oleh karenanya, sastra marxis ada karena
dialektika masyarakat dan sejarah. Pembacaannya pun harus didekati dengan konteks
masyarakat, dan sejarah pula agar kemudian tercipta kesegaran pemahaman maksud
yang dikandung oleh sastra tersebut.
Sementara sastra feminisme berdalih bahwa
feminisme itu merupakan framework untuk membaca, dan menganalisa kedudukan
perempuan dalam belantara hidup bermasyarakat. Ia mengkritik secara kritis, dan
tajam seputar cara-cara representasi gender yang selalu menciptakan, dan
menduduk-letakkan perempuan pada posisi marginal, dan terpinggirkan.
Perempuan itu lemah, tidak berdaya, emosional, dan lain sebagainya. Dalam paradigma sedemikian ini, akan diminta sebuah pengujian secara holistik mengapa sedang terjadi kemaruk perilaku budaya yang sangat bias gender, labelisasi perempuan pada ranah-ranah tertentu an sich seperti dapur, sumur, dan kasur serta mengapa perempuan, dan laki-laki diposisikan selalu berlawanan, dan tidak pernah harmonis dan kooperatif (Baca hal 76).
Perempuan itu lemah, tidak berdaya, emosional, dan lain sebagainya. Dalam paradigma sedemikian ini, akan diminta sebuah pengujian secara holistik mengapa sedang terjadi kemaruk perilaku budaya yang sangat bias gender, labelisasi perempuan pada ranah-ranah tertentu an sich seperti dapur, sumur, dan kasur serta mengapa perempuan, dan laki-laki diposisikan selalu berlawanan, dan tidak pernah harmonis dan kooperatif (Baca hal 76).
Feminisme mencoba mendobrak tatanan hidup
yang sedemikian buruk itu agar kemudian terbangun kerangka hidup yang berbasis
keadilan, kesamaan, dan kesetaraan.
Sementara itu, sastra pascakolonial berkaitan erat dengan pembacaan, dan penulisan sastra yang dituliskan di negara-negara yang sebelumnya terjajah atau sedang menjajah negara terjajah. Oleh karena itu dalam sastra pasca kolonial ini terbagi menjadidua bidang pembahasan.
Sementara itu, sastra pascakolonial berkaitan erat dengan pembacaan, dan penulisan sastra yang dituliskan di negara-negara yang sebelumnya terjajah atau sedang menjajah negara terjajah. Oleh karena itu dalam sastra pasca kolonial ini terbagi menjadidua bidang pembahasan.
Pertama, sastra pascakolonialisme pasca
terjajah yang berbicara dengan kesadaran diri tentang resistensi, dan
perlainan. Kedua, sastra pascakolonialisme pasca penjajah yang berusaha
mereplika, melanjutkan, menyamakan tradisi lama serta menuliskannya dengan
standar penjajah. Sastra sedemikian ini dituliskan berdasar pengalaman lokal
yang spesifik (Baca hal 98).
Sementara itu, sastra pascamodernisne
bersikukuh menolak representasi mimetik dengan coba mempermainkan bentuk,
konvensi, dan ikon seni adiluhung atau seni tinggi. Ia
sangatmenentangorisinalitasdenganmenyadari ketakterhindaran hilangnya keaslian
dalam era produksi massa.
Ia sangat tidak mengamini adanya plot, dan tokoh sebagai konvensi seni bermakna sehingga makna sendiri hanyalah sesuatu hal fatamorgana atau mengada-ada (Baca hal 107).
Ia sangat tidak mengamini adanya plot, dan tokoh sebagai konvensi seni bermakna sehingga makna sendiri hanyalah sesuatu hal fatamorgana atau mengada-ada (Baca hal 107).
±Lain halnya dengan
sastra ras dan etnis, ia mempertanyakan, dan mempersoalkan representasi ras,
dan etnisitas yang diciptakan orang lain, mengoreksi karya-karya yang telah
dibengkalaikan, dan dipandang sebelah mata lantaran pembaca kurang memahami,
dan memiliki strategi pembacaan memadai tentang teks itu, menggelar teks-teks
menentang atau mensubversi representasi tradisional manusia dari etnisitas yang
berbeda (Baca hal 144).
Paradigma sastra ini
menjelaskan bahwa makna karya sastra adalah hasil interpretasi yang dibangun,
didirikan, dan dikonstruksi oleh pembaca serta penulis terhadap sebuah teks
pembacaan.
Konsentrasi
bereferensi pada tindak kreatif pembaca dalam memasukkan makna ke dalam teks
sastra. Paradigma ini beranggapan bahwa orang yang berlainan akan
menginterpretasikan karya sastra secara berlainan pula, dan begitu seterusnya (Baca
hal 180).
Dengan demikian,
pandangan-pandangan sastra marxis hingga rasis di atas sudah cukup membawa
perubahan tersendiri bagi dunia kesusasteraan Indonesia. Dengan ulasan teoretis
yang dibubuhi contoh-contoh konkrit dalam buku ini, hal sedemikian sangat
mempermudah kita untuk memahami segala maksud bentuk teori yang ada sehingga
menjadikan kita dan pembaca tidak kesulitan dalam mempergunakan teori tersebut
terhadap bidang-bidang kajian serta pembahasan tertentu.
Akhirnya, semoga buku
ini dapat menjadi pelepas dahaga tatkala anak-anak negeri sedang kekeringan
teori-teori sastra untuk bergelut di dunia kesusasteraan baik bagi mahasiswa,
dosen, pemerhati, pelaku sastra, dan lain sebagainya yang kebetulan memiliki
minat besar pada sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar