SELAMAT DATANG DI MA. MATSARATUL HUDA

SELAMAT DATANG DI MA.MATSARATUL HUDA PANEMPAN PAMEKASAN SEMOGA BERMANFAAT

Jumat, 25 Mei 2012

Sastra Marxis hingga Rasis


Oleh
Taufikurrahman

Terdengar seakan bising mengoreksi tentang marxis dan rasis dalam sastra oleh karna itu seiring dengan dinamika perkembangan sastra dan kemajuan hidup manusia. Maka kita semua mahfum bahwa akan ada beberapa gejala besar yang segera menyeruak ke permukaan bumi ini. Sastra dengan segala anak pinaknya akan mewarnai perjalanan hidup manusia selama ada di tanah dimana mereka berpijak dan bertempat tinggal. sastra memberikan warna tersendiri terhadap manusia bagaimana mereka harus dan seharusnya mempola diri dengan sedemikian rupa agar tidak terjebak pada matinya pergerakan menuju hidup dan pemikiran yang lebih baru, genial, kontekstual dan seterusnya.
Dan mau tidak mau, hal sedemikian pasti tidak akan terelakkan. Menolak itu sama dengan mengingkari eksistensi diri sebagai mahluk yang berkembang, evolutif, kontekstual dan dinamis.membincangkan sastra ibarat kita harus memilah-milah segala jenis sastra. Ini perlu dilakukan karena sastra lahir, dibesarkan, dan didewasakan di tengah kerumunan masyarakat yang variabel, heterogen, dan plural. Yang pasti dan jelas, keragaman manusia menyebabkan keberbedaan jenis sastra yang tidak bisa disatupadukan atau ditunggalkan dengan sedemikian ketatnya. Masing-masing mereka memiliki ciri khas, karakter, pola penyampaian, dan unsur-unsur yang sangat berlainan.
Bayangkan saja, ada sastra yang beralirkan ekspresivisme yang berpandangan bahwa sastra itu merupakan pernyataan, ekspresi, ungkapan dunia batin pangarangnya. Ini berasumsi bahwa sastra itu adalah gerakan, dan pergerakan berimajinasi, menyintesiskan imajinasi, pemikiran, dan perasaan pengarang (Baca hal 27). sastra jenis ini lahir ketika sistem sosial, dan filsafat memberikan kebebasan dengan sepenuhnya kepada manusia untuk berbuat. Otonomi individu seluas-luasnya dipersembahkan untuk manusia guna bisa bebas berkarya dengan sekreatif mungkin (Baca hal 27-28).
Ada pula sastra berkutubkan marxisme yang berkoar bahwa sastra itu adalah cerminan realisasi sosial yang berpihak pada segolongan tertentu semata (kelompok pemodal). Dengan begitu, muatan sastra marxis lalu dapat dimengerti bila dikacamatakan lewat realitas sosial yang sedang terjadi.
Di sana itu berproses tindak kesewenang-wenangan, ketidakadilan, penindasan ekonomi kepada kelas rendahan, dan lain sebagainya. Ringkas kata, kaum marxis berpendapat bahwa teori apapun yang memperlakukan sastra terisolir dan memisahkannya dari masyarakat dan sejarah, teori tersebut akan lemah dalam menyampaikan apa yang sebenarnya diinginkan dalam sastra(Baca hal 44).
Oleh karenanya, sastra marxis ada karena dialektika masyarakat dan sejarah. Pembacaannya pun harus didekati dengan konteks masyarakat, dan sejarah pula agar kemudian tercipta kesegaran pemahaman maksud yang dikandung oleh sastra tersebut.
Sementara sastra feminisme berdalih bahwa feminisme itu merupakan framework untuk membaca, dan menganalisa kedudukan perempuan dalam belantara hidup bermasyarakat. Ia mengkritik secara kritis, dan tajam seputar cara-cara representasi gender yang selalu menciptakan, dan menduduk-letakkan perempuan pada posisi marginal, dan terpinggirkan.
Perempuan itu lemah, tidak berdaya, emosional, dan lain sebagainya. Dalam paradigma sedemikian ini, akan diminta sebuah pengujian secara holistik mengapa sedang terjadi kemaruk perilaku budaya yang sangat bias gender, labelisasi perempuan pada ranah-ranah tertentu an sich seperti dapur, sumur, dan kasur serta mengapa perempuan, dan laki-laki diposisikan selalu berlawanan, dan tidak pernah harmonis dan kooperatif (Baca hal 76).
Feminisme mencoba mendobrak tatanan hidup yang sedemikian buruk itu agar kemudian terbangun kerangka hidup yang berbasis keadilan, kesamaan, dan kesetaraan.
Sementara itu, sastra pascakolonial berkaitan erat dengan pembacaan, dan penulisan sastra yang dituliskan di negara-negara yang sebelumnya terjajah atau sedang menjajah negara terjajah. Oleh karena itu dalam sastra pasca kolonial ini terbagi menjadidua bidang pembahasan.
Pertama, sastra pascakolonialisme pasca terjajah yang berbicara dengan kesadaran diri tentang resistensi, dan perlainan. Kedua, sastra pascakolonialisme pasca penjajah yang berusaha mereplika, melanjutkan, menyamakan tradisi lama serta menuliskannya dengan standar penjajah. Sastra sedemikian ini dituliskan berdasar pengalaman lokal yang spesifik (Baca hal 98).
Sementara itu, sastra pascamodernisne bersikukuh menolak representasi mimetik dengan coba mempermainkan bentuk, konvensi, dan ikon seni adiluhung atau seni tinggi. Ia sangatmenentangorisinalitasdenganmenyadari ketakterhindaran hilangnya keaslian dalam era produksi massa.
Ia sangat tidak mengamini adanya plot, dan tokoh sebagai konvensi seni bermakna sehingga makna sendiri hanyalah sesuatu hal fatamorgana atau mengada-ada (Baca hal 107).
±Lain halnya dengan sastra ras dan etnis, ia mempertanyakan, dan mempersoalkan representasi ras, dan etnisitas yang diciptakan orang lain, mengoreksi karya-karya yang telah dibengkalaikan, dan dipandang sebelah mata lantaran pembaca kurang memahami, dan memiliki strategi pembacaan memadai tentang teks itu, menggelar teks-teks menentang atau mensubversi representasi tradisional manusia dari etnisitas yang berbeda (Baca hal 144).
Paradigma sastra ini menjelaskan bahwa makna karya sastra adalah hasil interpretasi yang dibangun, didirikan, dan dikonstruksi oleh pembaca serta penulis terhadap sebuah teks pembacaan.
Konsentrasi bereferensi pada tindak kreatif pembaca dalam memasukkan makna ke dalam teks sastra. Paradigma ini beranggapan bahwa orang yang berlainan akan menginterpretasikan karya sastra secara berlainan pula, dan begitu seterusnya (Baca hal 180).
Dengan demikian, pandangan-pandangan sastra marxis hingga rasis di atas sudah cukup membawa perubahan tersendiri bagi dunia kesusasteraan Indonesia. Dengan ulasan teoretis yang dibubuhi contoh-contoh konkrit dalam buku ini, hal sedemikian sangat mempermudah kita untuk memahami segala maksud bentuk teori yang ada sehingga menjadikan kita dan pembaca tidak kesulitan dalam mempergunakan teori tersebut terhadap bidang-bidang kajian serta pembahasan tertentu.
Akhirnya, semoga buku ini dapat menjadi pelepas dahaga tatkala anak-anak negeri sedang kekeringan teori-teori sastra untuk bergelut di dunia kesusasteraan baik bagi mahasiswa, dosen, pemerhati, pelaku sastra, dan lain sebagainya yang kebetulan memiliki minat besar pada sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar